Bagaimana Cara Shalatnya Musafir ?
BAGAIMANA CARA SHALATNYA MUSAFIR ?
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana cara shalat musafir dan bagaimana pula puasanya ?
Jawaban
Shalat musafir adalah dua raka’at sejak saat dia keluar dari kampung halamannya sampai kembali kepadanya, berdasarkan kata-kata Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma.
أَّوَّلُ مَا فُرِضَتْ الصَّلاَةُ فُرِضَت رَكعَتَيْنِ فَأُقِرَتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلاَةُ الْحَضَرِ
“Awal diwajibkannya shalat adalah dua rakaat, lalu ditetapkanlah hal itu untuk shalat di waktu safar dan disempurnakan shalat di waktu mukim”
Dalam riwayat lain : “dan ditambahi untuk shalat di waktu mukim” [1]
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata :”Kami keluar bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dari Madinah menuju Makkah, lalu beliau shalat dua rakaat dua rakaat sampai kami kembali ke Madinah”. [2]
Akan tetapi apabila seseorang shalat bersama imam, maka ia harus menyempurnakan shalat empat rakaat, sama saja apakah dia mengikuti shalat sejak awal atau kehilangan sebagian rakaat darinya ; berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam : ‘Apabila kalian mendengar iqamah maka berjalanlah menuju shalat dan wajib atas kalian menjaga ketenangan dan ketentraman, jangan terburu-buru, apa yang kalian dapati (dari shalat) kerjakanlah sedangkan apa yang hilang dari kalian sempurnakanlah” [3]
Keumuman sabda beliau : “Apa yang kalian dapati (dari shalat) kerjakanlah sedangkan apa yang hilang dari kalian sempurnakanlah”, meliputi para musafir yang shalat di belakang imam yang mengerjakan shalat empat rakaat dan selain mereka. Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu ditanya tentang, bagaimana keadaan musafir yang shalat dua rakaat manakala bersendiri dan empat rakaat apabila bersama orang tempatan ? Dia menjawab, “itulah sunnah”.
Kewajiban shalat jama’ah tidak gugur bagi musafir, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkannya di dalam kondisi perang, Dia berfirman.
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَىٰ لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu”. [An-Nisa : 102]
Berdasarkan dalil ini, apabila ada seorang musafir berada di suatu daerah yang bukan daerahnya, dia wajib menghadiri shalat jama’ah di masjid ketika mendengar adzan, kecuali bila letaknya sangat jauh, atau khawatir khilangan teman-temannya, sesuai keumuman dalil yang menunjukkan pada wajibnya shalat berjama’ah bila mendengar adzan atau iqamah.
Sedangkan mengenai mengerjakan shalat sunnat ; seorang musafir boleh melaksanakan shalat sunnat selain rawatib dhuhur, ashar, maghrib dan isya, dia boleh mengerjakan shalat witir, shalat lail, shalat dhuha, shalat rawatib fajar dan selain dari itu berupa shalat sunnat selain rawatib yang dikecualikan tersebut.
Tentang menjamak (mengumpulkan shalat) : jika dia dalam keadaan berjalan (naik kendaraan) yang lebih utama adalah menjamak antara dhuhur dan ashar, antara maghrib dan isya, bisa dengan jama taqdim maupun jama takhir, melihat mana yang lebih mudah baginya, segala hal yang lebih mudah adalah lebih utama.
Jika dia dalam keadaan berhenti (tinggal di suatu daerah) yang lebih utama adalah tidak menjamak shalat, jika dia tetap menjamak maka tidak mengapa ; berdasarkan pengesahan dua hal itu dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Adapun tentang puasa musafir di bulan Ramadhan, yang lebih utama adalah dia tetap berpuasa, namun jika dia berbuka pun tidak mengapa, lalu dia mengganti jumlah hari berbukanya, kecuali jika berbuka lebih memudahkannya maka berbuka menjadi lebh utama, karena Allah menyukai orang yang menjalankan rukhshah (keringanan)nya, segala puji milik Allah Pemelihara semesta alam.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Pustaka Arafah]
_______
Footnote
[1]. Bukhari mengeluarkannya : Kitab Taqshir Shalat, Bab : Meringkas Apabila Kaluar dari Tempat Tinggalnya 1090. Muslim : Kitab Shalat Musafirin wa Qashriha. Bab : Shalat Para Musafir dan Peringkasannya 685.
[2]. Telah diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Taqshir Shalat, Bab : Apa Yang Datang Tentang Meringkas 1081. Muslim : Kitab Shalat Musafirin qa Qashriha, Bab Shalat Para Musafir dan Peringkasannya 693
[3]. Bukhari mengeluarkan dalam Kitab Adzan, Bab : Tidak Boleh Terburu-Buru Mendatangi Shalat, Hendaklah Datang Dengan tenang dan Tentram 636
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1486-bagaimana-cara-shalatnya-musafir.html